Bamsoet: Konstitusi Tidak Boleh Anti Terhadap Perubahan

oleh -47 views
oleh

JAKARTA – Pengkhidmatan terhadap Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi kaum milenial menjadi perhatian Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo.

Bambang Soesatyo memandang, zaman yang berkembang mengharuskan bangsa Indonesia berhadapan pada dinamika tantangan kehidupan kebangsaan.

Menurutnya, ke depan bukan tidak mungkin generasi penerus bangsa akan mempunyai perspektif yang berbeda dalam memaknai peradaban di masa sekarang, termasuk dalam memaknai narasi Konstitusi.

“Idealnya, konstitusi yang kita bangun dan perjuangkan adalah Konstitusi yang hidup dan yang bekerja (living and working constitution),” ujar Bambang Soesatyo dikutip RMOL, pada Senin (13/12).

Konstitusi yang hidup, dipaparkan Bambang, adalah sebah arah yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman. Sedangkan, konstitusi yang bekerja adalah yang benar-benar dijadikan rujukan dan dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini mengurai, karena konstitusi terikat oleh realitas zaman, maka agar bisa hidup dan bekerja secara selaras konstitusi tidak boleh anti terhadap perubahan. Karena menurutnya, perubahan zaman adalah sebuah kensicayaan yang tidak akan mungkin dihindarkan.

“Tugas kita bersama memastikan bahwa
perubahan tersebut adalah perubahan menuju ke arah perbaikan,” katanya.

Sosok yang kerap disapa Bamsoet ini menekankan, perubahan menuju ke arah yang lebih baik harus dilakukan dengan mengedepankan sikap kenegarawanan, menjunjung tinggi kehendak daulat rakyat, serta memastikan kelestarian nilai-nilai luhur.

“Yang menjadi original intent para founding fathers dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” imbuhnya.

Bamsoet menambahkan, dari tahun 1999 hingga 2002, MPR telah melakukan empat kali amendemen atau perubahan UUD 1945. Di satu sisi, perubahan Konstitusi dinilai telah membawa angin segar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dia menilai, pembatasan masa jabatan presiden secara tegas, pemilihan presiden yang dilaksanakan secara langsung, dan ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam Bab tersendiri, adalah beberapa aspek yang dianggap sebagai kemajuan dalam kehidupan demokrasi di tanah air.

“Di sisi lain, sejumlah kalangan menilai masih terdapat kelemahan sistematika dan substansi pada konstitusi pasca amendemen,” tuturnya.

Persoalan mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga negara, lanjut Bamsoet, juga masih menyisakan problematika tersendiri. Ditambah lagi, kenyataan bahwa perubahan Konstitusi tidak serta-merta menumbuhkan budaya taat berkonstitusi, atau menjamin segala peraturan perundang-undangan di bawah Undang Undang Dasar, sudah sejalan dengan konstitusi.

Menurutnya, amendemen Konstitusi bukanlah sesuatu yang tabu dalam konsepsi negara demokratis. Ia memberikan contoh konkret terkait apa yang terjadi di Amerika Serikat, yang mana telah sekian lama menjadi rujukan global dalam implementasi sistem demokrasi, juga telah beberapa kali melakukan amendemen.

Dia memaparkan, negeri Paman Sam sudah sejak tahun 1789 ribuan kali Komite Kongres Amerika Serikat mengusulkan dilakukannya amendemen konstitusi.

Dari ratusan kali usulan amendemen tersebut, Bamsoet mendapati Amerika Serikat secara resmi telah mengajukan 33 kali amendemen konstitusi.

“Dan hasilnya, sebanyak 27 kali amendemen telah diratifikasi oleh negara-negara bagian,” demikian Bamsoet.